Disusun
Oleh :
Andri Kevin Akbar (2A213111)
Annisa Nur Rakhmasari (2A213147)
Diesca Titanayu (2A213009)
Rika Andriyanie (2A213143)
Ryan Alfa Devota (2A213142)
Kelas
:
1 EB 22
Dosen
:
MUJIYANA
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Selama hampir 57 tahun sebagai
bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah perpolitikan dan
ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang
berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe.
Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi
dilekatkan suatu atribut demarkatif, seperti Orde Lama, Orde Baru Dan Kini Orde
Reformasi.
Karena esklusifitas
tersebut maka sering terjadi pandangan dan pemikiran yang bersifat apologetik
dan keliru bahwa masing-masing Orde merefleksikan tatanan perpolitikan dan
ketatanegaraan yang sama sekali berbeda dari Orde sebelumnya dan tidak ada
ikatan historis sama sekali
Orde Baru lahir karena adanya
Orde Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi
kemunculan Orde Reformasi. Demikian juga setelah Orde Reformasi pastilah akan
berkembang pentas sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya dengan
setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama.
Dari perspektif ini maka dapat
dikatakan bahwa Orde Lama telah memberikan landasan kebangsaan bagi
perkembangan bangsa Indonesia. Sementara itu Orde Baru telah banyak memberikan
pertumbuhan wacana normatif bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui
konvergensi nilai-nilai sosial-budaya (Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri
walaupun dapat dikatakan masih dalam proses pencarian bentuk, namun telah
menancapakan satu tekad yang berguna bagi penumbuhan nilai demokrasi dan
keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum dan HAM. Nilai-nilai tersebut
akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan dinamika yang terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ORDE LAMA
(1950 – 1965 )
1. Demokrasi
Liberal (1950 – 1959)
Dalam proses
pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan negara, ditetapkan pula sistem
demokrasi yang dipakai yaitun sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi
ini presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak
mengatur formatur pembentukan kabinet. Oleh karena itu, tanggung jawab
pemerintah ada pada kabinet. Presiden tidak boleh bertindak sewenang-wenang.
Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Dalam sistem
demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi,Pni,dan PKI mempunyai
partisipasi yang besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang
bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan
kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950.
Setiap
kabinet yang berkuasa harus mendapat dudkungan mayoritas dalam parlemen (DPR
pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet
harus mengemblikan mandat kepada presiden. Setelah itu, dibentuklah kabinet
baru untuk mengendalikan pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian satu ciri
penting dalam penerapan sistem Demokrasi Liberal di negara kita adalah silih
bergantinya kabinet yang menjalankan pemerintahan.
Kabinet yang
pertama kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah kabinet Natsir.
Sebagai formatur ditunjuk Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi yang menjadi
partai politik terbesar saat itu. Program kerja Kabinet Natsir pada masa
pemerintahannya secara garis besar sebagai berikut ;
a.
Menyelenggarakan pemilu untuk konstituante dalam waktu singkat.
b.
Memajukan perekonomian, keeshatan dan kecerdasan rakyat.
c.
Menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer.
d.
Memperjuangkan soal Irian Barat tahun 1950.
e.
Memulihkan keamanan dan ketertiban.
Dalam menjalankan kebijakannya,
kabinet ini banyak memenuhi hambatan terutama dari tubuh parlemen sendiri.
Bentuk negara yang belum sempurna dengan beberapa daerah masih berada ditangan
pemerintahan Belanda memperuncing masalah yang ada dalam kabinet tersebut.
Perbedaan politik antara presiden dan kabinet tersebut menyebabkan kedekatan
antara presiden dengan golongan oposisi (PNI). Hal itu menentang sistem politik
yang telah berlaku sebelumnya, bahwa presiden seharusnya memiliki sikap politik
yang sealiran dengan parlemen. Secara berturut-turut setelah kejatuhan kabinet
Natsir, selama berlakunya sistem Demokrasi Liberal, presiden membentuk
kabinet-kabinet baru hingga tahun 1959.
Pada masa Demokrasi Liberal ini juga
berhasil menyelenggarakan pemilu I yang dilakukan pada 29 september 1955 dengan
agenda pemilihan 272 anggota DPR yang di lantik pada 20 Maret 1956. Pemilu
pertama tersebut juga telah berhasil badan konstituante (sidang pembuat UUD).
Selanjutnya badan konstituante memiliki tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam
badan konstituante sendiri, terdiri berbagai macam partai, dengan dominasi
partai-partai besar seperti NU,PKI,Masyumi dan PNI. Dari nama lembaga tersebut
dapatlah diketahui bahwa lembaga tersebut bertugas untuk menyusun konstitusi.
Konstituante melaksanakan tugasnya ditengah konflik berkepanjangan yang muncul
diantara pejabat militer, pergolakan daerah melawan pusat dan kondisi ekonomi
tak menentu.
2.Demokrasi
Terpimpin (1959 – 1965)
a.
Sistem politik Demokrasi Terpimpinat
Kekacauan terus menerus dalam
kesatuan negara Republik Indonesia yang disebabkan oleh begitu banyaknya
pertentangan terjadi dalam sistem kenegaraan ketika diberlakukannya sistem
demokrasi liberal. Pergantian dan berbagai respon dari dari daerah dalam kurun
waktu tersebut memaksa untuk dilakukannya revisi terhadap sistem pemerintahan.
Ir.Soekarno selaku presiden memperkenalkan konsep kepemimpinan baru yang
dinamakan demokrasi terpimpin. Tonggak bersejarah di
berlakukannya sistem demokrasi terpimpin adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden
5 Juli 1959.
Peristiwa tersebut mengubah tatanan
kenegaraan yang telah terbentuk sebelumya. Satu hal pokok yang membedakan
antara sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin
adalah kekuasaan Presiden. Dalam Demokrasi Liberal,
parlemen memiliki kewenangan yang terbesar terhadap pemerintahan dan
pengambilan keputusan negara. Sebaliknya, dalam sistem Demokrasi Terpimpin
presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang pemerintahan.
Dengan diberlakukannya Dekrit
Presiden 1959 terjadi pergantian kabinet dari Kabinet Karya (pimpinan
Ir.Djuanda) yang dibubarkan pada 10 juli 1959 dan digantikan dengan pembentukan
Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Ir.Soekarno sebagai perdana menteri dan Ir.Djuanda
sebagai menteri pertama. Kabinet ini yang memiliki program khusus yang
berhubungan dengan masalah keamanan,sandang pangan, dan pembebasan Irian Barat.
Pergantian institusi pemerintahan anatara lain di MPR (pembentukan MPRS),
pemebntukan DPR-GR dan pembentukan DPA.
Perkembangan dalam sistem
pemerintahan selanjutnya adalah pernetapan GBHN pertama. Pidato Presiden pada
acara upacara bendera tanggal 17 agustus 1959 berjudu”Penemuan Kembali Revolusi
Kita”dinamakan Manifestasi Politik Republik Indonesia(Manipol),yang berintikan
USDEK (UUD 1945,Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian
Indonesia). Institusi negara selanjutnya adalah mengitegrasikan sejumlah badan
eksekutif seperti MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional dengan tugas
sebgai menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu yang
selanjutnya ikut merumuskan kebijaksanaan pemerintahan dalam lembaga
masing-masing.
Dalam Demokrasi Terpimpin presiden
mendapat dukungan dari tiga kekuatan besar yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis.
Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam mempertahankan kekuasaannya.
Kekuasaan mutlak presiden pada masa itu telah menjadikan jabatan tersebut
sebagai pusat legitimasi yang penting bagi lainnya. Presiden sebagai penentu
kebijakan utama terhadap masalah-masalah dalam negeri maupun luar negeri .
b. Gerakan 30
September 1965
Salah satu momen sejarah yang
mungkin paling membekas dalam perjalanan sejarah Indonesia adalah Peristiwa
Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut sampai saat ini masih menimbulkan
kontrofersi dalam pengungkapan fakta yang sebenarnya. Berbagai versi tentang
gerakan 30 S tersebut telah dikemukakan diantaranya;
Peristiwa G
30 S versi Pemerintah Orde Baru yakni peristiwa 30 S merupan suatu tindakan
makar yang dilakukan oleh PKI terhadap pemerintah Indonesia yang sah. Tindakan
kudeta tersebut dilakukan untuk merebut kekuasaan dari Ir.Soekarno selaku
Penguasa Tertinggi
Angkatan
Bersenjata dan Presiden seumur hidupberdasarkan konsep Demokrasi Terpimpin.
Cara penggulingan
tahun 1965 tersebut adalah dengan menyatukan sejumlah organisasi onderbouw yang
masih tersisa pascaperistiwa 1948.
c. Dampak G 30
S dan Proses Peralihan Kekuasaan Politik
Adapun dampak dari peristiwa G 30 S
adalah :
-
Demostrasi menentang PKI
Penyelesaian
aspek politik terhadap para pelaku G 30 S 1965/PKI akan di putuskan dalam
sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 dan belum terlihat adanyaa
tanda-tanda akan dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut pemeritah
agar segera menyelesaikan masalah tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi
dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda dan pelajar-pelajar Indonesia
seperti KAPPI,KAMI dan KAPI. Mucul pula kasi yang dilakukan oleh KABI,KAWI yang
membulatkan tekad dalam Front Pancasila.
-
Mayjen Soeharto menjadi Pangad
Sementara
itu untuk mengisi kekosongan pimpinan AD, pada tanggal 14 oktober 1965 Panglima
Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri/Panglima AD.
Bersamakan itu diadakan tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI
dan ormasnya.
-
Kedaan ekonomi yang buruk
Sementara
itu kedaan ekonomi semakin memburuk. Pada saat itu politik sebagai panglima,
akibatnya masalah lain terabaikan. Akibatnya di daerah muncul berbagai gejolak
sosial yang pada puncaknya menimbulakan pemberontakan.
-
Tri Tuntutan Rakyat
Pada tanggal
12 januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
tersebut berkumpul di halaman gedung DPR-GR untuk mengajukan Tritura yang
isinya :
a.
Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
b.
Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
c.
Penurunan harga barang-barang.
Aksi Tritura
berlangsung selama 60 hari sampai dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966.
-
Kabinet seratus menteri
Pada tanggal
21 februari 1966 presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet
9(reshuffle).
Kabinet baru ini diberi nama kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Adapun
proses peraliahan kekuasaan politik dari orde lama ke orde baru adalah sebagai
berikut ;
-
Tanggal 16 Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi Menteri
Panglima Angkatan Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pada
awalnya untuk menghormati presiden AD tetap mendukungnya. Namun presiden enggan
mengutuk G 30 S AD mulai mengurangi dukungannya dan lebih muali tertarik
bekerja sam dengan KAMI dan KAPPI.
-
Keberanian KAMI dan KAPPI terutam karena merasa mendapat perlindungan
dari AD. Kesempatan ini digunakan oleh Mayjen Soeharto uintuk menawarkan jasa
baik demi pulihnya kemacetan roda pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia
mengutus tiga Jenderal yaitu M.Yusuf, Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh
Soeharto untuk menemui presiden guna menyampaikan tawaran itu pada tanggal 11
Maret 1966. Sebagai hasilnya lahirlah surat perintah 11 Maret
1966 .
-
Pada tanggal 7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia
dari Presiden melalui perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri
sebuah konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada
pemegang Supersemar.
-
Pada 8 Februari 1967 oleh Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan
bersama empat panglima angkatan bersenjata.
-
Disaat belum tercapainya kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah
pelengkap Nawaksara dan semakin bertambah gawatnya konflik, pada tanggal
9 Februari 1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS
agar sidang Istimewa dilaksanakan.
-
Tanggal 10 Februari 1967 Jend. Soeharto menghadap kepad presiden
Soekarno untuk membicarakan masalah negara.
-
Pada tanggal 11 Februari 1967 Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa
digunakan untuk mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang
pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada
pemegang Supersemar sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden
kemudian meminta waktu untuk mempelajarinya.
-
Pada tanggal 12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali
dengan presiden, presiden tidak dapat menerima konsep tersebut
karena tidak menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan.
-
Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkummpul kembali untuk
membicarakan konsep yang telah telah disusun sebelum diajukan kepada presiden
-
Pada tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden
setelah diadakan sedikit perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan
kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi.
-
Pada tanggal 23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara
presiden /Mendataris MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah
menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar yaitu
Jend.Soeharto.
-
Pada bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka
mengukuhkan pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal
Soeharto sebagai pejabat presiden RI.
B.
ORDE BARU
1. Lahirnya
Orde Baru
Akibat
adanya pemberontakan Gerakan 30 September timbullah reaksi dari
berbagai Parpol,Ormas,Mahasiswa dan kalangan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober
1965 partai politik seperti IPTKI, NU, Partai Kristen Indonesia, dan organisasi
massa lainnya melakukan apel kebulatan tekad untuk mengamankan Pancasila dan menuntut
pembubaran PKI serta ormas-ormasnya. Pada tanggal 23 Oktober 1965 parpol yang
anti komunis membentuk Front Pancasila dan diikuti oleh pembentukan KAMI (
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ), KAPI ( Ksatuan Aksi Pelajar Indonesia ),
dan lain-lain. Pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI mencetuskan TRITURA ( Tiga
Tuntutan Rakyat ) “Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya,Bersihkan kabinet dari
unsur PKI,dan turunkan harga-harga”
2. Kebijakan
Politik Orde Baru
Rezim Orde
Baru memiliki kekuasaan penuh mengendalikan kehidupan politik masa itu.
Kebijakan politik yang diterapkan dalam masa Orde Baru dapat dilihat dari awal
lahirnya Orde Baru. Pemberangusan hak-hak berpolitik bagi eks anggota PKI dan
keluarganya, merupakan salah satu kebijakan yang mengundang kontroversi dari
masyarakat. Pemerintah Orde Baru memberikan kesempatan politik hanya kepada
golongan tertentu saja. Menjelang dilaksanakannya pemilu pada tahun 197, jumlah
partai yang menjadi peserta, tidak sebanyak partai politik di tahun 1955. Dari
hasil pemilu tersebut para wakil-wakil partai menduduki 360 kursi ditambah 100
kursi lagi yang anggota-anggotanya diangkat oleh Presiden sehingga anggota DPR
berjumlah 460 orang. Dari susunan kursi DPR yang semacam ini maka DPR selalu
mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Untuk pemiliu-pemilu
selanjutnya
tahun
1977,1982,1987,1992, hingga 1997 pemerintah menyederhanakan jumlah partai
politik yang ada. Hal ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang nomor 3 tahun
1975 . Partai Persatuan Pembangunan merupakan fusi dari partai-partai islam
seperti NU, Parmusi, PSSI, dan PERTI. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia
adalah fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo, hanya
Golkar yang tidak mempunyai fusi partai manapun.
3. Menguatnya
Peran Negara dan Dampaknya
Pemegang pemerintahan di Orde Baru
adalah kalangan militer. Kekuasaan sentralistik yang digunakan oleh pemerintah
Orde Baru menunjukkan berbagai akibatnya di akhir pemerintahan Orde Baru.
Kekuasaan militer hampir di seluruh bidang pembangunan.
Pada
akhir tahu 90-an dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan seiring dengan era
reformasi terbuka kesempatan bagi rakyat untuk menentanng kekuasaan yang
otoriter itu . operasi militer mengerikan yang selam 10 tahun tertutup rapat
dari pengetahuan publikpun terbongkar. Presiden Soeharto dan rezimnya menyadari
bahwa, kemenangan mereka dapat tercapai antara lain berkat dukungan tokoh-tokoh
islam termasuk ormas-ormasnya simpatisan masyumi. Tetapi ketika muncul tuntutan
dari tokoh-tokoh masyumi yang baru bebas dari tahanan rezim Orde Lama, untuk
merehabilitasi partainya, Soeharto tegas menolak dengan alasan ”yuridis,
ketatanegaraan, dan psikologi “. Bahkan Soeharto dengan nada yang agak marah,
mengaskan, Ia menolak setiap keagamaan dan akan menindak setiap usaha
eksploitasi masalah agama untuk maksud-maksud kegiatan politik yang tidak pada
tempatnya. Dalam kata lain, pemerintahan Orde Baru yang didominasi militer
tidak menyukai kebangkitan politik islam.
4. Jatuhnya
Pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru selama 32
tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekad awalnyamuncul Orde
Baru. Pada awalnya Orde Baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah
air. Latar belakang munculnya tuntutan Soeharto agar mundur dari jabatannya
atau yang menjadi titik awal berakhirnya Orde Baru.
-
Adanya krisis politik di mana setahun sebelum pemilu 1997, kehidupan
politik Indonesia mulai memanas. Pemerintah yang didukung Golkar berusaha
memepertahankan kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima pemilu
sebelumnya. PPP begitupun PDI ataupun Golkar dianggapa tidak mampu lagi
memenuhi aspirasi politik masyarakat.
-
Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan Juli 1997.
Sebenarnya krisis
ini juga
terjadi dibeberapa negara di Asia namun Indonesialah yang merasakan dampak yang
paling buruk. Hal ini disebabkan karena pondasi perekonomian Indonesia rapuh,
praktik KKN, dan monopoli ekonomi mewarnai pembangunan ekonomi Indonesia.
-
Adanya krisis Sosial, bersamaan dengan krisis ekonomi kekerasan di
masyarakat semakin meningkat. Melonjaknya angka pengangguran. Kesenjangan
ekonomi menyebabkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Gerakan moral
dalam aksi damai menuntut reformasi mulai ditunggangi berbagai kepentingan
individu dan kelompok.
-
Pelaksanaan hukum di masa Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan.
Misalnya kekuasaan kehakiman yang dinyatakan dalam pasal 24 UUD 1945 bahwa
kehakiman memilik kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan
pemerintahan. Namun pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah
kekuasaan eksekutif.
Kronologi jatuhnya pemerintahan Orde
Baru berawal dari terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden melalui sidang
umum MPR yang berlangsung tanggal 1 – 11 Maret 1998, ternyata tidak
menimbulkan dampak positif yang berarti bagi upaya pemulihan kondisi ekonomi
bangsa justeru memperparah gejolak krisis. Dan gelombang aksi mahasiswa silih
berganti menyuarakan beberapa agenda reformasi.
Keberhasilan
Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui
sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan
meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Namun,
keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan
pembangunan mental ( character building ) para pelaksana pemerintahan
(birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat).
Kalimaksnya, pada pertengahan tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
yang sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa)
Faktor Penyebab Munculnya
Reformasi
Banyak hal
yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama
terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde
Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
1. Krisis Politik
Demokrasi
yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan
politik. Ada
kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih
banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan
bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”.
Pada dasarnya secara de jore (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut
dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto
(dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian
besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak
percaya kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah
yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk
dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR
yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan
pembaharuan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi
sumber ketidakadilan, di antaranya :
- UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
- UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
- UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
- UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
- UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap
telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi
oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada
sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi Politik di tanah air
semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.
Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya
gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja,
tetapi masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan masyarakat,
maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat
beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama
terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang
menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau
dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat juga menuntut agar di
tetapkan tentang pembatasan masa jabatan Presiden.
Terjadinya
ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu
munculnya
kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda. Menjelang
akhir kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang
banyak memakan korban jiwa.
Pemilihan
umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar yang
meraih kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto
sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan
masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat
untuk menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto
terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil
Presiden. Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari
para mahasiswa dan kalangan intelektual.
2. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru
terdapat banyak ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori
oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya.
Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan
masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
3. Krisis Ekonomi
Krisi
moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga
mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata
belum mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia
berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai
tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan
berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter
Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank
pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha
yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman
bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di
kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan
keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional. Faktor lain
yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari
masalah utang luar negeri. Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri
Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun,
utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi
sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara
hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang
pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat. Akibat dari
utang-utang tersebut maka kepercayaan luar
11
negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan
seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap
tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan
Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara
Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan
kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat
agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa
pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian
Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi,
produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada
masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh
para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai
dengan korupsi dan kolusi.
Pola
Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah
Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan
sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara
sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok
terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari
daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah
dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga
dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena
pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun
peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat
biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam
merebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.
4. Krisis Kepercayaan
Demontrasi
di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan
kenaikan harga BBM dan ongkos Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan
Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas
dari kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang
dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.
Soeharto
kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke
Gedung
DPR / MPR
untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi
mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat
tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para
mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya
mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal
18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri.
Presiden
Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat
di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi,
melakukan perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia
dicalonkan kembali sebagai Presiden.
Dalam perkembangannya, upaya
pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan
diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan
Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung
diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang
baru di Istana.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari Sejarah panjang mengenai
dinamika politik pada masa orde lama di Indonesia yang berhubungan dengan
praktek politik berdasar demokrasi muncul semenjak dikelurkannya Maklumat Wakil
Presiden No.X, 3 November 1945, yang menganjurkan pembentukan partai-partai
politik. Perkembangan demokrasi dalam masa revolusi dan demokrasi parlementer
dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas. Presiden Soekarno ditempatkan
sebagai pemilik kekuasaan simbolik dan ceremonial, sementara kekuasaan
pemerintah yang nyata dimiliki oleh Perdana Menteri, kabinet dan parlemen.
Kegiatan partisipasi politik di masa itu berjalan dengan hingar bingar,
terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasikan berbagai ideologi
dan nilai-nilai primordialisme yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun,
demikian, masa itu ditandai oleh terlokalisasinya proses politik dan formulasi
kebijakan pada segelintir elit politik semata, hal tersebut ditunjukan pada
rentang 1945-1959 ditandai dengan adanya tersentralisasinya kekuasaan pada
tangan elit-elit partai dan masyarakat berada dalam keadaan terasingkan dari
proses politik.
Keruntuhan Orde Lama dan
kelahiran Orde Baru di penghujung tahun 1960-an menandai tumbuhnya harapan akan
perbaikan keadaan sosial, ekonomi dan politik. Dalam
kerangka ini, banyak kalangan berharap akan terjadinya
akselerasi pembangunan politik ke arah demokrasi. Salah satu harapan dominan
yang berkembang saat itu adalah bergesernya power relationship antara negara
dan masyarakat. Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut adalah harapan yang
memiliki dasar argumen empirik yang memadai diantaranya adalah berbeda dengan
demokrasi terpimpin Bung Karno yang lahir sebagai produk rekayasa elit, orde
baru lahir karena adanya gerakan massa yang berasal dari arus keinginan arus
bawah, kemudian rekrutmen elit politik di tingkat nasional yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan adanya
kesejajaran. Dalam artian, mengenai kebijakan politik yang ada tidak lagi
diserahkan pada peran politis dan ideology, melainkan pada para teknokrat yang
ahli. Sejalan dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru ditandai
oleh terjadinya perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam Negara dan
masyarakat, sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di
tangan presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat
kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun
harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara
mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu.Itulah
beberapa sekelumit cerita tentang Orde Lama dan Orde Baru, tentang bagaimana
kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru
akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para
mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu titik tolak era
Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi
yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.
B. SARAN
Perjalanan kehidupan birokrasi di
Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang
telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini.
Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk
kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang
demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada
pemenuhan hak sipil warga negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi
sorotan publik saat ini. Banyaknya kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas
birokrasi secara institusional maupun individu.
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu
menjadi alat politik yang efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa
orde baru, birokrasi sipil maupun militer secara
14
terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai
dukungan dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi,
namun hanya di beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat
terekam oleh media menjadi salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan
birokrasi untuk suksesi. Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa
saja dilakukan dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad
baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah.
Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk
memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus
bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia yang lebih
baik dari sebelumnya , harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga
aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses
pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan
masyarakat umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Biro Perancangan Negara, “Garis-garis Besar Perencanaan Lima Tahun, 1955-1960”, Jakarta, 1956.
- Soemitro Djojohadikusumo : Pembangunan Ekonomi Indonesia, Kuliah Perdana Universitas Terbuka, PT Sinar Agafies Press, Cetakan Pertama, 1985.
- Djamin Zulkarnain, “Perekonomian Indonesia”, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1989.
- http ;//www.wikipedia.org/sejarah indonesia